Ketika saya membuka-buka beberapa file dalam folder yang bernama ‘Semester 4’, tidak sengaja saya menemukan satu file yang saya kerjakan saat tingkat dua. Waktu itu Mata Kuliah yang saya ambil adalah Sistem Komunikasi Indonesia. File yang bersangkutan merupakan data yang saya kerjakaan saat mendapatkan tugas dari dosen untuk menulis mengenai Komisi Penyiaran Indonesia.
Berikut saya jelaskan selengkapnya.
Sistem Penyiaran Indonesia
Perjalanan Regulasi Penyiaran di Indonesia
Regulasi yang mengatur penyiaran di Indonesia telah ada jauh sebelum negara Indonesia hadir sebagai negara yang berdaulat. Ini dapat dilihat dari adanya Radiowet (Undang-Undang tentang Radio) yang diterbitkan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1934. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non-Pemerintah. Barulah pada 1997, pemerintah bersama DPR RI menerbitkan sebuah Undang-Undang Penyiaran yang diharapkan dapat mengatur dan mengelola kehidupan penyiaran. Undang-undang ini karena napasnya adalah bahwa penyiaran berada di bawah kendali dan kontrol kekuasaan, maka pemerintah dalam undang-undang ini membentuk sebuah badan pengawas yang dibentuk pemerintah yang bernama Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N). Tugasnya memberi pertimbangan kepada pemerintah, pertimbangan itu oleh pemerintah digunakan sebagai bahan dalam mengambil dan menyusun kebijakan penyiaran nasional.
Kuatnya desakan masyarakat terhadap kebebasan dan inginnya masyarakat melepaskan penyiaran dari kontrol kekuasaan, maka ketika ada kesempatan itu yakni pada saat rezim Orde Baru tumbang bergulirlah wacana pentingnya membuat undang-undang penyiaran yang progresif, reformis, dan berpihak pada kedaulatan publik. Maka, DPR RI kemudian menangkap semangat zaman ini dan membuat Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Harapan dengan adanya UU ini, kehidupan penyiaran menjadi lebih tertata dan tertib.
Keberadaan UU ini mengajak semua stakeholder penyiaran untuk masuk dalam sebuah ruang regulasi yang sama. Undang-undang ini ketika muncul bukan tanpa catatan penolakan. Di tahun 2003, terdapat upaya hukum yang dilakukan kalangan industri penyiaran di antaranya adalah ATVSI, PRSSNI, Persatuan Sulih Suara Indonesia (Persusi), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Komunitas Televisi Indonesia (Komteve). Kalangan industri ini melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang dalam salah satu pokok gugatannya mempertanyakan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berpotensi menjelma menjadi kekuatan represif ala Deppen di masa Orde Baru yang akan mengancam kemerdekaan berekspresi insan penyiaran. Namun dari beberapa pokok gugatan yang salah satunya ingin menghilangkan peran KPI tidak dikabulkan oleh MK. MK hanya mengabulkan bahwa kewenangan menyusun peraturan penjelas dari UU Penyiaran tidak dilakukan oleh KPI bersama pemerintah melainkan cukup dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka menyusun Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini tertuang dalam Putusan Mahkamah konstitusi dengan putusan perkara nomor 005/PUU-I/2003.
Pascakeputusan MK ini, perdebatan seputar regulasi penyiaran berlanjut dalam hal penyusunan materi peraturan pemerintah (PP). Publik penyiaran yang diwakili oleh kalangan pekerja demokrasi dan civil society yang diwakili antara lain oleh Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) serta kalangan perguruan tinggi khawatir pemberian kewenangan pembuatan peraturan pelaksana dari UU Penyiaran kepada pemerintah akan membuat pemerintah menyelipkan agenda kepentingannya dalam peraturan tersebut. Kekhawatiran ini kemudian menjadi terbukti ketika pada tahun 2005 Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran terbit.
PP-PP itu antara lain, PP No. 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik, PP No. 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik RRI, PP No. 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik TVRI, PP No. 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing, PP No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, PP No. 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan PP No. 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Pemerintah dalam PP-PP tersebut menempatkan dirinya sebagai pihak yang dominan dalam dunia penyiaran. Ini tampak dalam penempatan menteri atas nama pemerintah sebagai pihak yang memberi izin penyelenggaraan penyiaran. Padahal, dalam UU Penyiaran termaktub bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan negara melalui KPI. Dalam semangat UU ini, sebagaimana dikemukakan oleh perumusnya yakni Paulus, Ketua Pansus Penyusunan UU Penyiaran dari DPR RI pada saat penulis berdiskusi dengannya. Ia menyatakan bahwa makna izin diberikan negara melalui KPI dalam konteks bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan KPI atas nama Negara.
Masih menurut dia, penempatan KPI sebagai pemberi izin dalam pengertian bahwa di negara demokrasi modern pemberian izin penyiaran harus diberikan oleh sebuah badan regulasi yang independen. Hal ini untuk menempatkan penyiaran sebagai ruang publik yang bebas dan otonom. Apalagi, penyiaran Indonesia di masa lalu pernah berada dalam kendali kekuasaan pemerintah. Jadi, bila kemudian pemerintah menafsirkan bahwa kata negara yang dimaksud adalah pemerintah, menurut pandangannya, jelas mengingkari semangat demokratisasi yang ada dalam UU Penyiaran. Maka wajar bila kemudian KPI bersama elemen civil society mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) dan meminta pemerintah membatalkan pemberlakuan PP-PP Penyiaran tersebut.
Pada tahun 2007, MA dalam keputusannya memenangkan pemerintah dan menyatakan bahwa PP-PP penyiaran tersebut berlaku. Pascapemberlakuan PP-PP Penyiaran ini tidak lantas membuat PP-PP Penyiaran ini bisa langsung operasional. Saya ambil contoh, dalam konteks perizinan penyelenggaraan penyiaran, karena PP-PP penyiaran ini mensyaratkan adanya peraturan menteri yang menjelaskan dari apa yang belum jelas di PP-PP penyiaran, membuat pemrosesan izin penyiaran menjadi tertunda. Ini yang membuat para pemohon izin penyelenggaran penyiaran menjadi kecewa karena begitu lamanya menanti kepastian proses perizinan.
Sejak KPI daerah Jawa Barat dibentuk pada 2004, para pemohon izin yang menempuh proses di KPI berjumlah 800-an pemohon dan yang dinyatakan layak oleh KPI berjumlah 350 an. Dalam PP-PP penyiaran, kewenangan KPI disebutkan hanya sebatas pemberi rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran yang akan menjadi dasar bagi menteri dalam menerbitkan izin penyelenggaraan penyiaran. Namun dari jumlah yang 350- an ini hingga saat ini, belum bisa diterbitkan izin penyelenggaraan penyiarannya oleh Menteri Komunikasi dan Informatika karena peraturan menteri yang menjelaskan tentang prosedur perizinan penyelenggaraan penyiaran sebagai dasar menteri memproses izin belum ada. Yang menjadi pertanyaan, hingga kapan persoalan ini selesai? Publik menanti begitu lama demi mendapatkan kepastian itu.
Permasalahan lain, ketika dalam PP-PP Penyiaran terjadi pembagian kaveling kewenangan dalam memproses izin bahwa kaveling KPI adalah dalam hal pemeriksaan kelengkapan persyaratan program siaran dan kaveling pemerintah (menteri) dalam hal pemeriksaan kelengkapan administrasi dan data teknik penyiaran. Dalam hal melaksanakan tugasnya di daerah menteri dalam PP-PP penyiaran tersebut dibantu oleh pemerintah di daerah. Permasalahan yang muncul adalah pembagian tugas antara menteri dan pemerintah di daerah belum jelas bagaimana pelaksanaannya mengingat peraturan yang memayunginya belum ada. Jadi, menteri belum dapat melakukan apa yang menjadi tugasnya. Bahkan, penulis sempat beberapa kali didatangi pejabat dinas infomasi dan komunikasi yang ada di daerah menanyakan kepada penulis apa yang menjadi tugas, pokok, dan fungsinya dalam membantu menteri sebagaimana tersurat dalam PP-PP Penyiaran tersebut. Jawaban yang bisa penulis sampaikan adalah sebelum peraturan yang menjadi dasar pembagian tugas tersebut belum ada, maka akan sulit bagi pemerintah di daerah melaksanakan tugasnya di lapangan. Jadi ketika peraturan penjelas dari PP-PP Penyiaran ini tidak segera diterbitkan pemerintah, kondisi penyiaran di Indonesia khususnya di Jawa Barat akan jauh dari tertib. Jadi, saat ini, bola ada di tangan pemerintah. KPI dan masyarakat tinggal menunggu langkah apa yang akan segera pemerintah lakukan demi menjawab kegelisahan masyarakat tersebut.
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran
Penyiaran melalui media komunikasi massa elektronik dengan kelebihan dan keunggulannya yang dapat mengatasi ruang dan waktu dalam bentuk dengar atau audio dan pandang dengar atau audiovisual serta grafis dan teks harus mampu melaksanakan peranan aktif dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Oleh karena itu, bersama-sama media massa lainnya, penyiaran harus ditingkatkan kemampuannya melalui pembangunan yang diarahkan untuk semakin meningkatkan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam semua aspek kehidupan bangsa, sehingga semakin meningkatkan kesadaran rakyat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara, rnemperkuat persaman dan kesatuan bangsa, memperkukuh ketahanan nasional, dan memelihara stabilitas nasional yang mantap dan dinamis, sejalan dengan dinamika pembangunan dan kemajuan teknologi.
Dengan kemampuan yang terus-menerus ditingkatkan dan dibina sesuai dengan arahan tersebut di atas, penyiaran memiliki kedudukan yang penting dan strategis dalam memotivasi pendapat dan kehendak masyarakat ke arah hal-hal yang positif agar berperan serta secara aktif dalam setiap tahap pembangunan nasional yang meliputi pula pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Sementara itu, kemajuan teknologi penyiaran yang berkembang dengan cepat menyebabkan landasan hukum pembinaan dan pengembangan penyiaran yang ada selama ini sudah tidak memadai lagi, baik karena tingkat peraturan yang mengaturnya lebih rendah daripada undang-undang maupun karena ruang lingkup pengaturannya baru meliputi segi-segi tertentu dalam kegiatan penyiaran dengan pengaturan yang belum terpadu.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sebagai landasan pengaturan dan pembinaan penyelenggaraan penyiaran serta untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum dan ditaatinya Kode Etik Siaran, diperlukan Undang-undang tentang Penyiaran.
Pengaturan penyiaran dalam Undang-undang ini disusun berdasarkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1. Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai landasan filosofis, konstitusional, dan operasional merupakan panduan dalam menumbuhkan, membina dan mengembangkan penyiaran di Indonesia sehingga sebagai media komunikasi massa, penyiaran menjadi sarana efektif untuk perjuangan bangsa, penjalin persatuan dan kesatuan bangsa, sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan dan pelestarian budaya bangsa, sarana informasi dan penerangan, pendidikan, dan hiburan yang sehat, serta penyalur pendapat umum dan penggerak peran serta masyarakat dalam pembangunan.
2. Penyiaran memiliki nilai strategic sehingga perlu dikuasai oleh negara. Untuk itu, penyiaran perlu dibina dan dikendalikan dengan sebaik-baiknya.
3. Penyiaran mempunyai kaitan erat dengan spektrum frekuensi radio dan orbit geostasioner yang merupakan sumber daya alam yang terbatas, sehingga pemanfaatannya perlu diatur secara efektif dan efisien bagi sebesar-besamya kepentingan nasional.
4. Sebagai perwujudan peran serta masyarakat dalam pembangunan, selain Pemerintah, masyarakat dapat menyelenggarakan penyiaran dan wajib mendukung pertumbuhan dan perkembangan penyiaran.
5. Penyiaran yang diselenggarakan oleh masyarakat merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari sistem penyiaran nasional.
6. Pembinaan penyiaran diarahkan pada terciptanya siaran yang berkualitas dan mampu menyerap sera merefleksikan aspirasi masyarakat yang positif dan beraneka ragam, serta meningkatkan daya tangkal masyarakat terhadap pengaruh buruk nilai-nilai budaya asing.
7. Untuk mewujudkan iklim yang sehat bagi penyelenggaraan penyiaran, pembinaan dan pengembangan penyiaran dilaksana secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu mata rantai yang bersinambungan sejalan dengan dasar, asas, tujuan, fungsi, dan arah penyelenggaraan penyiaran.
8. Untuk mencegah perbuatan melawan hukum yang mungkin timbul dari penyelenggaraan penyiaran, pelanggaran terhadap ketentuan di dalam Undang-undang ini dikenal sanksi.
Bertitik tolak dari pokok-pokok pikiran sebagaimana tersebut di atas, dalam Undang-undang ini terutama diatur hal-hal yang bersifat mendasar, sedangkan yang bersifat teknis dan operasional akan diatur dengan Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Public Domains
Public domain adalah sebuah istilah atau sebutan untuk karya-karya yang hak ciptanya telah expired. Public domain adalah article atau tulisan yang sudah lebih dari puluhan tahun dan tidak ada penulisnya. salah satu situs public domain yang dapat kita temukan di internet adalah situs librivox. Jadi di situs librivox ini jangan harap bisa menemukan judul-judul buku baru, sebaliknya carilah buku-buku lama seperti buku-buku karya william shakespeare, dan lain sebagainya. Walt disney, cerita lucu ini ide sebenarnya datang dari sebuah public domain. Sudah banyak di internet orang orang yang sukses berjualan ebook hanya dengan me-rebrand dan mempackage Ulang covernya, dan sekarang mereka telah menghasilkan uang jutaan dollar. Juga ada ebook yang menjelaskan secara detail tentang public domain ini beserta aspek hukumnya. Nah rekan-rekan bisa mendownload software untuk mencari public domain Tersebut di internet, public domain database. Ikuti petunjuknya di http://paketbisnis.pvidia/free.html
Public Goods
Secara umum public goods /barang publik biasa dipahami sebagai sesuatu yang dapat dinikmati atau dibutuhkan oleh semua orang. Suatu barang publik merupakan barang-barang yang tidak dapat dibatasi siapa penggunanya dan sebisa mungkin bahkan seseorang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya. Contoh barang publik ini diantaranya udara, cahaya matahari, papan marka jalan, lampu lalu lintas, pertahanan nasional, pemerintahan dan sebagainya. Akan sulit untuk menentukan siapa saja yang boleh menggunakan papan marka jalan misalnya, karena keberadaannya memang untuk konsumsi semua orang.
Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public goods) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat. Satu terminologi lain yang agak mirip adalah barang kolektif. Bedanya, barang publik adalah untuk masyarakat secara umum (keseluruhan), sementara barang kolektif dimiliki oleh satu bagian dari masyarakat (satu komunitas yang lebih kecil) dan hanya berhak digunakan secara umum oleh komunitas tersebut.
Barang publik memiliki dua sifat atau dua aspek yang terkait dengan penggunaannya, yaitu :
Non-rivalry. Non-rivalry dalam penggunaan barang publik berarti bahwa penggunaan satu konsumen terhadap suatu barang tidak akan mengurangi kesempatan konsumen lain untuk juga mengkonsumsi barang tersebut. Setiap orang dapat mengambil manfaat dari barang tersebut tanpa mempengaruhi menfaat yang diperoleh orang lain. Sebagai contoh, dalam kondisi normal, apabila kita menikmati udara bersih dan sinar matahari, orang-orang di sekitar kita pun tetap dapat mengambil manfaat yang sama, atau apabila kita sedang mendengar adzan dari sebuah mesjid misalnya, tidak akan mengurangi kesempatan orang lain untuk ikut mendengarnya.
Non-excludable. Sifat non-excludable barang publik ini berarti bahwa apabila suatu barang publik tersedia, tidak ada yang dapat menghalangi siapapun untuk memperoleh manfaat dari barang tersebut atau dengan kata lain, setiap orang memiliki akses ke barang tersebut. Dalam konteks pasar, maka baik mereka yang membayar maupun tidak membayar dapat menikmati barang tersebut. Sebagai contoh, masyarakat membayar pajak yang kemudian diantaranya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan jasa kepolisian misalnya, akan tetapi yang kemudian dapat menggunakan jasa kepolisian tersebut tidak hanya terbatas pada yang membayar pajak saja. Mereka yang tidak membayar pun dapat mengambil menfaat atas jasa tersebut. Singkatnya, tidak ada yang dapat dikecualikan (excludable) dalam mengambil manfaat atas barang publik.
Sebuah barang publik disebut sebagai pure public goods atau barang publik sempurna/murni apabila memiliki dua sifat ini secara absolute. Efek-efek yang terkait dengan kedua sifat barang publik ini adalah : Free riders. Free riders ini adalah mereka yang ikut menikmati barang publik tanpa mengeluarkan kontribusi tertentu, sementara sebenarnya ada pihak lain yang berkontribusi untuk mengadakan barang publik tersebut. Contohnya mereka yang tidak membayar pajak tadi, tapi ikut menikmati jasa-jasa atau barang-barang yang diadakan atas biaya pajak. Contoh lain, sebuah jalan desa dibangun dengan kerja bakti. Free rider kemudian adalah mereka yang tidak ikut kerja bakti, tetapi kemudian ikut menggunakan jalan desa tersebut Eksternalitas. Secara umum, eksternalitas akan terjadi apabila masyarakat mendapatkan dampak atau efek-efek tertentu diluar barang atau jasa yang terkait langsung dengan mekanisme pasar. Dalam konteks mekanisme pasar, Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar inilah yang disebut dengan eksternalitas. Dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan. Mudahnya, ini adalah efek yang terjadi diluar apa yang mungkin diharapkan atau didapat dari penyelenggaraan suatu barang atau jasa. Contohnya, rumah-rumah yang terletak di pinggir jalan akan mendapat polusi dari kendaraan yang melalui jalan itu, padahal mereka tidak membayar untuk itu. Polusi ini adalah contoh eksternalitas negatif. Contoh lain, sebuah taman yang cukup besar dibangun di tengah kota dengan tujuan untuk dijadikan obyek wisata dan menambah pendapatan kota tersebut. Eksternalitas yang kemudian mungkin terjadi adalah efek estetika kota dan udara yang relatif lebih bersih di sekitar taman tersebut. Ini adalah contoh eksternalitas positif. Disebut eksternalitas karena efek-efek ini terjadi diluar tujuan penyelenggaraannya. Kita tidak akan terlalu banyak membahas mengenai terminologi eksternalitas ini karena konteksnya dapat sangat meluas. Kita hanya perlu memahami pengertian dasarnya saja.
Dalam ilmu ekonomi, keberadaan masalah free rider dan eksternalitas inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya inefisiensi pasar. Selain itu, terkait dengan dua sifat barang publik tadi, pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapa yang seharusnya menyediakan barang publik. Dilihat dari sifatnya yang non-excludable, sektor swasta tentu akan menyerahkan pada pihak lain untuk mengadakan barang publik karena terlalu tidak efisien bagi mereka. Hal ini kemudian menimbulkan penafsiran bahwa konteks publiks goods adalah barang yang harus disediakan oleh pemerintah. Hal ini tidak selamanya benar. Karena penggunaannya yang untuk publik, maka pada hakikatnya, publiklah yang juga harus menyediakannya.
Sektor swasta biasanya kemudian mengembangkan cara-caranya sendiri untuk mengatasi efek eksternalitas dan free rider yang dapat menimbulkan inefisiensi tersebut. Contohnya, siaran televisi sebenarnya dapat digolongkan sebagai public goods bagi seluruh pemilik televisi. Akan tetapi, sektor swasta misalnya kemudian mengembangkan sistem periklanan atau sistem TV-kabel yang mengacak transmisi siaran sehingga hanya dapat ditangkap dengan dekoder tertentu agar hanya mereka yang membeli dekoder itu yang dapat menikmati siarannya. Contoh lain adalah sistem jalan toll, sehingga hanya mereka yang membayar yang dapat menggunakan jalan tersebut.
Pemerintah pun pada hakikatnya hanya dapat terwujud karena diadakan oleh publik. Pihak pemerintah pun mengadakan barang publik dengan meminta kontribusi dari publik, diantaranya dengan pajak. Selain itu, seringkali juga pemerintah dapat bertindak sebagai fasilitator penyedia barang publik untuk kemudian hanya masyarakat tertentu yang bisa menikmatinya, atau untuk meningkatkan efisiensi produksinya kemudian bekerja sama dengan sektor swasta dengan batasan-batasan tertentu. Contohnya penyediaan tenaga listrik atau pengolahan air bersih, yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang membayar untuk itu, atau membangun jalan dan jembatan juga dari pajak, dsb. Bisa saja kemudian masyarakat sendiri yang menyediakan barang publik untuk pemenuhan kebutuhannya, misalnya dengan kerja bakti dsb.
Unsur Pada Sistem Penyiaran yang Termasuk dalam Public Domains dan Public Goods
Dalam sistem penyiaran yang ada di dunia mengandung dua hal pokok yaitu, berkaitan dengan penggunaan public domains dan public goods.
- Public Domains Dalam Hukum Dasar
o pasal 33 (3), penggunaan ranah public
Bahwa ranah public digunakan buat setinggi-tingginya kemakmuran rakyat. Siapa saja yang berhak mendapatkan perizinan pemakaian sumber daya milik publik itu, konstitusi menyatakan: setiap warga negara mempunyai hak yang sama berdasarkan asas persamaan dan keadilan dihadapan hukum. Sementara sumber daya milik publik, tidak senantiasa bersifat “tak terbatas “. Berkenaan dengan pemakaian gelombang radio, maka hanya kepada mereka yang paling mampu memenuhi kepentingan, kenyamanan, dan kebutuhan masyakatlah, yang paling berhak memenangkan perolehan izin penyiaran.
- Public Goods Dalam Hukum Dasar
o Berkaitan dengan public goods/ isi media, pasal 28C (1), hak rakyat untuk mengembangkan diri
o Pasal 28I (3), perlindungan terhadap budaya & hak masyarakat tradisional.
Kalaulah masih juga dipertanyakan landasan konstitusi manakah yang mengabsahkan kehadiran penyiaran komunitas, maka jawabannya ada pada pertama-ta ma pasal 28F. Ihtimal pasal ini selengkapnya berbunyi: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Penyiaran komunitas harus berperan untuk :
1. Menafsirkan masa lalu
2. Memberi makna pada masa sekarang
3. Melukiskan suatu masa depan yang ideal
4. Menguak konflik antar nilai-nilai tradisional ( orang selalu dinilai atas kualitas warisan nenek moyang, seperti golongan dan ras ), dan nilai-nilai modern ( yang menilai orang berdasar prestasi kerja )
5. Menjelaskan alasan-alasan konflik antara nilai-nilai yang ideal dan aktual, seraya menawarkan cara mengatasi konflik, guna mewujudkan perubahan
6. Menyediakan forum publik, guna mengekspresikan berbagai opini, keyakinan, dan gagasan
7. Menyediakan informasi secara lumintu, guna membantu warga, agar mampu berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik, sekaligus memenuhi kelanjutan hidup sehari-hari, sehingga memungkinkan institusi-institusi komunitas berjalan mulus
8. Mengevaluasi dan mengkritisi mereka yang berada pada kekuasaan, dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan
9. Menyediakan pelayanan-pelayanan berkaitan dengan hiburan dan pertukaran budaya. Upaya Mempertahankan dan mengembangkan keberlanjutan hidup. Sekali izin penyiaran dikeluarkan, kewajiban setiap media penyiaran termasuk penyiaran komunitas menjaga agar pelayanan siaran berkelanjutan guna memenuhi kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan publik. Guna memenuhi prinsip perundang-undangan serupa itu tak salah kalau dikatakan, bahwa masalah utama yang akan dihadapi penyiaran komunitas adalah kelangsungan hidupnya, terutama karena masalah pendanaan.
KPI (Fungsi, Wewenang, dan Posisi dalam Lembaga Kenegaraan)
Fungsi KPI
o KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.
o Komisi Penyiaran Indonesia berfungsi mewakili kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan publik akan penyiaran.
o Dalam mewujudkan fungsinya sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) di atas, Komisi Penyiaran Indonesia melakukan :
- Penetapan standar mutu siaran dan keanekaragaman siaran
- Optimalisasi dan ketertiban penggunaan spektrum gelombang elektromagnetik
- Perlindungan hak asasi manusia untuk mendapatkan informasi
- Pengaturan infrasrutkur bidang penyiaran
- Pengaturan persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran.
- Wewenang KPI
o Wewenang KPI sebagai berikut:
- Menetapkan standar program siaran
- Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran
- Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
- Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
- Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
o Dalam pasal 8 ayat 2 UU No. 32 tahun 2002 mengatur tentang kewenangan KPI sebagai berikut:
- Menetapkan standar program siaran
- Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI)
- Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
- Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
- Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
Posisi KPI Dalam Lembaga Kenegaraan
- Kedudukan KPI adalah sebagai lembaga negara yang bersifat independen dalam mengatur penyiaran. Sedangkan sifat KPI sebagai lembaga kuasi negara atau auxilarry state institution. Dimana, KPI merupakan dari wujud peran serta masyarakat dan negara (pemerintah).
- KPI dalam Sistem Kelembagaan Negara
KPI merupakan salah satu lembaga negara dalam sistem kelembagaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga KPI memiliki hubungan dengan lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tugasnya. Pengaturan hubungan KPI dengan lembaga negara lainnya diatur dalam UU Penyiaran dan Peraturan KPI. Lembaga Negara yang memiliki hubungan dengan KPI adalah DPR dan Presiden. Hubungan KPI Pusat diatur dengan UU No. 32 tahun 2002 pada pasal 7 ayat 4, pasal 9 ayat 6, pasal 10 ayat 2, pasal 10 ayat 3 dan pasal 11 ayat 2. Untuk dapat lebih memahami hubungan lebih rinci sebagai berikut :
- Hubungan KPI dengan DPR terkait dengan hal-hal sebagai berikut : pertama pemilihan anggota KPI (pasal 10 ayat 2), kedua Pengawasan Kinerja KPI (pasal 7 ayat 4), dan ketiga memilih anggota antar waktu (pasal 11 ayat 2).
- Hubungan KPI dengan Presiden terkait dengan hal-hal sebagai berikut : pertama, Penyediaan Anggaran KPI (Pasal 9 ayat 6), kedua menetapkan keanggotaan KPI Pusat (Pasal 10 ayat 3), dan ketiga menetapkan penggantian anggota KPI Pusat antar waktu (pasal 11 ayat 2). Sedangkan untuk daerah, KPI daerah memiliki hubungan dengan KPI Pusat, DPRD dan Gubernur.
Hubungan KPI Daerah diatur dengan UU No. 32 tahun 2002 pada pasal 7 ayat 4, pasal 9 ayat 6, pasal 10 ayat 2, pasal 10 ayat 3 dan pasal 11 ayat 2 serta Peraturan KPI No. 01 tahun 2007 Pasal 28. Penjelasan hubungan tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
- Hubungan KPI daerah dengan DPRD terkait dengan hal-hal sebagai berikut : pertama pemilihan anggota KPI Daerah (pasal 10 ayat 2), kedua Pengawasan Kinerja KPI Daerah (pasal 7 ayat 4), dan ketiga memilih penggantian anggota antar waktu (pasal 11 ayat 2).
- Hubungan KPI Daerah dengan Gubernur terkait dengan hal-hal sebagai berikut : pertama, Penyediaan Anggaran KPI Daerah (Pasal 9 ayat 6), kedua menetapkan keanggotaan KPI Daerah (Pasal 10 ayat 3), dan ketiga menetapkan penggantian anggota KPI Daerah antar waktu (pasal 11 ayat 2).
- Hubungan KPI Pusat dengan KPI Daerah diatur dengan Peraturan KPI No. 01 tahun 2007 Pasal 28 sebagai berikut :
Pertama KPI Pusat bertindak sebagai koordinator bagi pelaksanaan wewenang, tugas, fungsi, dan kewajiban KPI, yang berskala lintas daerah/wilayah, nasional maupun internasional
Kedua KPI Pusat bertindak sebagai mediator dan fasilitator komunikasi dan koordinasi antara KPI (KPI Pusat dan KPI Daerah) dan Pemerintah Pusat
Ketiga KPI Pusat bertindak sebagai mediator dan fasilitator komunikasi dan koordinasi antara KPI Daerah dan Pemerintah Daerah
Keempat Dalam melaksanakan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya, KPI Daerah melakukan koordinasi dengan KPI Pusat
Kelima KPI Pusat melakukan dekonsentrasi anggaran dan kegiatan ke KPI Daerah seluruh Indonesia
Keenam KPI Pusat wajib memfasilitasi terbentuknya sekretariat KPI Daerah dan Ketujuh Daerah yang belum terbentuk KPI Daerah, segala kewenangan penyiaran ada pada KPI Pusat.
Lembaga Penyiaran Negara
Pasal 12
1. Lembaga Penyiaran Negara adalah badan usaha milik negara di bidang penyiaran.
2. Lembaga Penyiaran Negara menyelenggarakan penyiaran Radio dan Televisi.
Pasal 13
Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Badan Usaha Milik Negara.
Contoh Realisasi Tugas Terbaru yang Dilakukan KPI
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, melayangkan surat teguran kepada lima stasiun televisi swasta nasional yang menayangkan program reality show yang makin menjamur di televisi swasta nasional, yang dinilai menyesatkan dan menipu pemirsa. sebenarnya itu tidak murni dan hanya rekaan belaka. “Kami baru memberi dua kali teguran, dan sebagian besar televisi mematuhi teguran kami,” kata Sasa Djuarsa Sendjaja, Ketua KPI Pusat, tanpa menyebut program reality show bermasalah itu. Menurut Sasa, sebagian besar berupa rekonstruksi kisah nyata, dan diperankan seorang bintang. “Jadi bukan benar-benar reality show, melainan rekayasa dari kisah nyata,” jelasnya.
KPI menilai reality show tersebut menyalahi aturan, seperti waktu tayang yang tidak tepat, dan tidak sesuai klasifikasi usia penonton. Acara untuk ditonton kalangan dewasa ditayangkan pagi atau sore sehingga memungkinkan anak di bawah umur menyaksikannya. “Teguran sesuai tingkat pelanggaran. Tapi, kalau pelanggarannya fatal, KPI bisa langsung menghentikan tayangan meskipun baru satu kali teguran,” jelas Sasa.
Aktris senior Christine Hakim juga menyesalkan penyimpangan itu. “Program reality show itu lebih banyak jeleknya, dan bertentangan dengan agama yang saya yakini,” kata Christine di Kampus FISIP UI, Depok, Kamis (14/5). Sementara Dwi, salah seorang yang pernah menjadi pemain reality show Cinta Pertama, mengakui reality show tersebut memang rekaan. “Ada skenarionya, dan kita memang diatur. Saya menyesal setelah mengetahui bahwa itu rekayasa dan melakukan kebohongan publik,” jelasnya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Kaul, Inge, Isabelle Gurnberg, dan Marc A. Stern, Global Public Goods: International Cooperation in the 21st Century. New York, Oxford University Press, 1999.
Sandler, Todd, On Financing Global and International Public Goods, Policy Research Working Paper, the World Bank Economic Policy and Prospect Group, July 2001.
SITUS INTERNET
http://www.endgenocide.org/genocide/index.html.
http://www.myquran.org
http://www.turisinternet.com
http://www.indomedia.com
http://www.poskota.co.id
http://www.jaringanradiokomunitasindonesia.com
http://www.tidakmenarikwordpress.com
nb:
SILAHKAN KASIH KRITIK, MASUKAN, ATAU CUMAN KOMENTAR JUGA BOLEH….
makasih udah berkunjung ke blog saya.. ^_^